Minim Pengawasan 1.500-an Ekor Anjing: Ancaman atau Kelalaian?
JagoanBerita.com – Indonesia tengah menghadapi dilema sosial yang jarang mendapat sorotan luas: keberadaan 1.500-an ekor anjing tanpa pengawasan di berbagai kawasan urban maupun pedesaan. Meski sebagian masyarakat menyayangi hewan ini sebagai sahabat manusia, fakta menunjukkan bahwa minim pengawasan 1.500-an ekor anjing telah menimbulkan dampak serius — mulai dari serangan terhadap manusia, penyebaran penyakit, hingga kerusakan lingkungan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa ribuan anjing berkeliaran tanpa pemantauan? Dan apa saja langkah konkret yang bisa dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah?
1. Realita Minimnya Pengawasan terhadap Ribuan Anjing
Menurut data dari beberapa lembaga pemerhati satwa dan dinas peternakan di kota-kota besar, terdapat lebih dari 1.500 ekor anjing liar atau tidak terdaftar di beberapa wilayah dengan konsentrasi padat penduduk. Sayangnya, pengawasan terhadap anjing-anjing ini sangat minim, bahkan cenderung diabaikan.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di wilayah miskin atau kumuh. Di sejumlah kawasan menengah ke atas pun, seringkali pemilik membiarkan anjing peliharaan lepas tanpa pengawasan, baik di malam maupun siang hari. Hal ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, terutama bagi mereka yang takut, alergi, atau memiliki trauma terhadap anjing liar.
2. Potensi Bahaya dari Anjing Tanpa Pengawasan
Keberadaan anjing tanpa pengawasan bukan sekadar persoalan gangguan suara atau kotoran di jalan. Lebih dari itu, mereka menjadi ancaman langsung terhadap keamanan dan kesehatan masyarakat.
a. Risiko Penularan Rabies
Rabies masih menjadi momok di banyak daerah Indonesia. Menurut WHO, Indonesia adalah salah satu negara endemik rabies, dengan anjing sebagai vektor utama. Ketika ribuan anjing tidak divaksin dan bebas berkeliaran, potensi wabah rabies menjadi sangat besar. Minim pengawasan 1.500-an ekor anjing berarti ada 1.500 potensi sumber rabies di tengah masyarakat.
b. Serangan Fisik dan Psikologis
Setiap tahun, ratusan laporan gigitan anjing liar masuk ke rumah sakit. Korban bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang tidak tahu cara menghadapi hewan agresif. Serangan ini bukan hanya menyebabkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang bisa bertahan seumur hidup.
c. Gangguan Ekosistem dan Satwa Lain
Anjing merupakan predator oportunistik. Di beberapa daerah, anjing liar menyerang ternak, satwa liar endemik, bahkan menggali tempat sampah hingga menyebabkan pencemaran. Tanpa kontrol, populasi anjing liar bisa merusak keseimbangan ekologis lokal.
3. Mengapa Pengawasan Bisa Sangat Minim?
Ada beberapa alasan mengapa pengawasan terhadap ribuan ekor anjing bisa begitu lemah:
a. Tidak Ada Registrasi Anjing
Berbeda dengan kendaraan atau bahkan burung peliharaan tertentu, anjing tidak diwajibkan untuk didaftarkan. Ini membuat jumlah sebenarnya sulit dipantau dan tanggung jawab pemilik menjadi kabur.
b. Kurangnya Sumber Daya Dinas Terkait
Dinas peternakan dan kesehatan hewan di banyak daerah kekurangan anggaran, tenaga, dan infrastruktur. Akibatnya, upaya untuk mengontrol populasi anjing liar menjadi sangat terbatas.
c. Kurangnya Edukasi Masyarakat
Banyak pemilik anjing tidak sadar bahwa melepas peliharaan mereka ke jalanan adalah bentuk kelalaian. Mereka menganggap anjing sudah “terlatih” dan tidak berbahaya, padahal perilaku hewan bisa berubah dalam kondisi tertentu.
d. Ketiadaan Hukum Tegas
Hukum mengenai hewan peliharaan masih lemah. Tidak ada sanksi tegas bagi pemilik yang membiarkan anjing berkeliaran, kecuali jika terjadi insiden serius. Ini membuka celah bagi pelanggaran yang terus berulang.
4. Kasus-Kasus Nyata yang Mengkhawatirkan
Untuk memperjelas urgensi isu ini, berikut beberapa kasus nyata yang melibatkan anjing tanpa pengawasan:
-
Serangan Massal di Cianjur (2023): Sekelompok anjing liar menyerang peternakan ayam dan kambing warga. Puluhan ternak mati dan kerugian mencapai puluhan juta rupiah.
-
Kasus Rabies di Bali (2024): Tiga warga meninggal setelah tergigit anjing yang tidak divaksin. Anjing tersebut termasuk dalam populasi liar dan tidak memiliki pemilik.
-
Kecelakaan di Bekasi (2022): Seorang pengendara motor jatuh dan luka parah karena menghindari anjing yang tidur di tengah jalan. Hewan tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya.
5. Apa Solusi Konkret yang Bisa Diterapkan?
Menghadapi masalah minim pengawasan 1.500-an ekor anjing, dibutuhkan langkah-langkah sistematis dan berkelanjutan.
a. Program Registrasi dan Microchip
Setiap anjing peliharaan harus wajib didaftarkan ke dinas terkait dan diberi microchip untuk identifikasi. Hal ini akan memperjelas tanggung jawab pemilik dan memudahkan pelacakan saat terjadi insiden.
b. Operasi Sterilisasi Massal
Sterilisasi adalah solusi jangka panjang untuk mengendalikan populasi. Program ini harus digencarkan di seluruh daerah dengan insentif dari pemerintah atau kerja sama LSM.
c. Kampanye Edukasi Publik
Edukasi mengenai etika memelihara anjing perlu ditanamkan sejak dini. Media sosial, sekolah, dan RT/RW bisa dilibatkan dalam menyebarkan kesadaran akan pentingnya pengawasan hewan peliharaan.
d. Pembentukan Satgas Khusus
Perlu ada satgas pengawasan hewan liar yang terdiri dari dinas, relawan, dan komunitas pecinta hewan. Tugas mereka bukan hanya menertibkan, tapi juga menyelamatkan hewan yang terlantar dan tidak diurus.
e. Revisi Regulasi dan Sanksi Tegas
UU atau Perda yang mengatur hewan peliharaan harus diperbarui agar memiliki sanksi administratif maupun pidana terhadap pemilik yang lalai.
6. Pandangan Para Ahli dan Komunitas Pecinta Hewan
Tidak semua pihak menyambut pendekatan penertiban dengan tangan besi. Banyak aktivis hewan yang mendorong pendekatan humane dan berbasis keselamatan dua arah—baik untuk manusia maupun hewan.
Menurut dokter hewan drh. Anisa Mulya, “Menertibkan anjing bukan berarti memusnahkan mereka. Kita perlu pendekatan yang etis dan berbasis kesejahteraan hewan.” Ia menyarankan kerja sama antara pemerintah dan shelter untuk mengadopsi anjing-anjing liar yang sehat.
Sementara itu, komunitas pecinta hewan seperti Dog Lovers Indonesia mendukung program adopsi, edukasi, dan pelaporan anjing tanpa pemilik melalui aplikasi komunitas.
7. Masa Depan Kota dengan Ribuan Anjing Tanpa Pengawasan
Jika dibiarkan, minim pengawasan 1.500-an ekor anjing bisa menimbulkan ledakan masalah yang jauh lebih serius. Urbanisasi yang kian cepat, ditambah lemahnya kebijakan, membuat anjing-anjing ini tidak punya tempat di ekosistem kota yang padat dan tidak ramah satwa.
Namun, dengan sinergi antara warga, komunitas, dan pemerintah, bukan tidak mungkin kita menciptakan kota yang lebih aman bagi manusia dan hewan.
Kesimpulan: Saatnya Bertindak, Bukan Hanya Prihatin
Permasalahan anjing tanpa pengawasan bukan lagi isu kecil yang bisa diabaikan. Ini adalah permasalahan sosial, kesehatan, dan lingkungan yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Tidak cukup hanya dengan memberi makan atau menolong satu dua ekor; dibutuhkan sistem, aturan, dan kesadaran kolektif untuk mengatasi masalah ini secara menyeluruh.
Jika tidak ada perubahan signifikan, angka 1.500-an ekor anjing tanpa pengawasan bisa melonjak dua kali lipat dalam lima tahun ke depan. Dan saat itu terjadi, kita mungkin akan menghadapi krisis yang jauh lebih sulit untuk diatasi.